Jumat, 22 Mei 2009

SEBUAH CERMINAN TENTANG MATEMATIKA DI INDONESIA

Matematika merupakan ilmu dasar yang menjadi alat untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lain. Oleh karena itu penguasaan terhadap matematika mutlak diperlukan dan konsep-konsep harus dipahami dengan benar sejak dini. Hal ini dikarenakan konsep-konsep dalam matematika merupakan suatu rangkaian sebab akibat. Dimana suatu konsep disusun berdasarkan konsep-konsep sebelumnya, dan akan menjadi dasar bagi konsep selanjutnya. Dengan demikian pemahaman konsep yang salah akan berakibat pada kesalahan terhadap pemahaman konsep selanjutnya (Cahya Prihandoko, 2006).

Berdasarkan kenyataan di atas, maka pembelajaran matematika yang benar sangat diperlukan dalam menanamkan konsep-konsep matematika di Sekolah Dasar. Sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika di jenjang pendidikan dasar yang tertulis dalam Badan Standart Nasional Pendidikan 2006 yaitu untuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang melalui latihan bertindak atas dasar kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Di samping itu, siswa diharapkan dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang penekanannya pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa serta keterampilan dalam penerapan matematika. Terlihat bahwa matematika sangat penting untuk menumbuhkan penataan nalar atau kemampuan berpikir logis serta sikap positif siswa yang berguna dalam mempelajari ilmu pengetahuan maupun dalam penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Tetapi kenyataan yang terjadi di lapangan, aktivitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru tidak sesuai dengan tujuan di atas. Materi yang disampaikan hanya berupa informasi yang lebih mengaktifkan guru, sedangkan siswa pasif mendengarkan dan menyalin dalam buku catatan. Sesekali guru bertanya dan sesekali siswa menjawab, guru memberi contoh soal dilanjutkan dengan memberi soal latihan yang sifatnya rutin dan kurang melatih daya nalar/logika siswa untuk berlatih untuk untuk aktif mencari dan menyelesaikan persoalan dalam pembelajaran.

Hal ini disebabkan oleh tuntutan kurikulum yang lebih menekankan pada pencapaian target. Artinya, semua bahan harus selesai diajarkan dan bukan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika. Akhirnya terjadilah proses penghafalan konsep atau prosedur, pemahaman konsep matematika rendah, dan tidak dapat menggunakannya jika diberikan permasalahan yang agak kompleks yang agak komplek yang melibat tingkat pemahaman dan logika berpikir yang lebih tinggi. Siswa menjadi robot yang harus mengikuti aturan atau prosedur yang berlaku dan terjadilah pembelajaran mekanistik. Akibatnya, pembelajaran bermakna yang diharapkan tidak terjadi.

Cara-cara menghafal semakin intensif dilakukan anak menjelang ujian. Anak belajar mengingat atau mengecamkan materi, rumus-rumus, definisi, unsur-unsur, dan sebagainya. Namun ketika waktu ujian berlangsung, anak seperti menghadapi kertas buram. Anak tidak mampu mengoperasionalkan rumus-rumus yang dihafalnya untuk menjawab pertanyaan.

Menurut Mukhayat (2004), belajar dengan menghafal tidak terlalu banyak menuntut aktivitas berpikir anak dan mengandung akibat buruk pada perkembangan mental anak. Anak akan cenderung suka mencari gampangnya saja dalam belajar. Anak kehilangan sense of learning, kebiasaan yang membuat anak bersikap pasif atau menerima begitu saja apa adanya tanpa berpikir dari mana mendapatkannya. Hal ini mengakibatkan anak tidak terbiasa untuk berpikir kritis, bagaimana mencari bahkan menyelesaikan persoalan dalam pelajaran secara tepat, teliti. dan teratur sesuai dengan aturan logika yang sesuai dengan pemikiran atau realitas. Siswa tidak dibiasakan untuk selalu tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi. Mereka tidak dibiasakan belajar dengan mencoba menjawab mengapa, apa, dan bagaimana sesuatu itu bisa terjadi dan bisa didapatkan. Kebiasaan inilah yang membuat siswa mempunyai daya nalar yang rendah dan logika matematika yang sangat rendah.

Proses pembelajaran yang mengandalkan cara menghafal akan menghasilkan tingkat kemampuan kognitif anak yang terbentuk hanya pada tataran tingkat yang rendah. Seperti artikel yang ditulis oleh Zainurie (2007) tentang skor rata-rata prestasi belajar matematika siswa Indonesia sangat rendah (hasil penelitian Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMS) yang dilakukan Leung, 2003). Berdasarkan hasil penelitian ini, jumlah jam pengajaran matematika di Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan Malaysia dan Singapura. Dalam satu tahun, siswa kelas 8 di Indonesia rata-rata mendapat 169 jam pelajaran matematika. Sementara di Malaysia hanya mendapat 120 jam dan Singapura 112 jam. Namun, hasil penelitian yang dipublikasikan di Jakarta pada 21 Desember 2006 itu menyebutkan, prestasi Indonesia berada jauh di bawah kedua negara tersebut. Prestasi matematika siswa Indonesia hanya menembus skor rata-rata 411. Sementara itu, Malaysia mencapai 508 dan Singapura 605 (400 = rendah, 475 = menengah, 550 = tinggi, dan 625 = tingkat lanjut). Dari keadaan ini menunjukkan bahwa waktu yang dihabiskan siswa Indonesia di sekolah tidak sebanding dengan prestasi yang diraih. Itu artinya, ada sesuatu dengan metode pengajaran matematika di negara ini. Leung juga menyebutkan, mayoritas soal yang diberikan guru matematika di Indonesia terlalu kaku dan diekspresikan dalam bahasa dan simbol matematika yang diset dalam konteks yang jauh dari realitas kehidupan sehari-hari.

Keadaan inilah yang membentuk pemahaman siswa bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang sangat sulit, membosankan, menyeramkan, bahkan menakutkan. Banyak siswa yang berusaha menghindari mata pelajaran tersebut. Hal ini jelas sangat berakibat buruk bagi perkembangan pendidikan matematika ke depan. Oleh karena itu, perubahan proses pembelajaran matematika yang menyenangkan harus menjadi prioritas utama. Hasil empiris di atas jelas merupakan suatu permasalahan yang merupakan faktor penting dalam mewujudkan tujuan pembelajaran matematika sesuai yang diamanatkan dalam kurikulum pendidikan matematika.

2 komentar:

tugas blogger mengatakan...

********
@_@
pada zaman sekarang ilmu matematika sangat diperlukan. Karena ilmu matematika mempelajari tentang penataan nalar dan pembentukan sikap seseorang. Karena jelas bahwa matematika dapat menumbuhkan cara berpikir logis dan positif dalam kehidupan sehari-hari.

blog indonesia mengatakan...

pada umumnya para pelajar tidak menyukai/takut pada pelajaran matematika.padahal matematika adalah ilmu dasar dalam pelajaran yang lain.dan matematika mengarahkan kita untuk berfikir secara logis dalam kehidupan sehari-hari.