Kamis, 15 Januari 2009

Matematika....? Apa Kata muridku....?

Matematika, Apa dan Bagaimanakah Dikau?


Seorang siswa sedang merenung. Kenapa ya ada matematika. bikin pusing saja. Apa sih gunanya? Dah sulit...ngrepotin....sebel...sebel....matematika...? No....no...no...

Ini merupakah realita yang muncul di hati anak-anak kita. Tugas kita bersama kenapa mereka bisa seperti ini? Ada yang salahkah, apa yang selama ini kita lakukan? Atau kita tidak tahu tentang apa yang telah kita lakukan? Mari kita tengok bersama.

Matematika di sekolah kepada wahana pendidikan untuk mengembangkan semua potensi yang dimiliki peserta didik dalam bentuk pengetahuan, kemampuan dan keterampilan dasar matematika agar setiap orang yang mempelajari matematika menjadi warga negara yang melek matematika dan mempunyai kompetensi dan kecakapan hidup.

Tantangan dan Harapan dalam Pembelajaran Matematika

Pada akhir abad 21, organisasi pendidikan se dunia, yaitu UNESCO telah menetapkan empat pilar utama pendidikan, yakni learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together in peace and harmony. Keempat pilar tersebut bukan merupakan suatu urutan, melainkan saling melengkapi satu dengan yang lainnya, sehingga dalam pembelajaran di tiap jenjang pendidikan guru dapat menciptakan suasana belajar yang memuat keempat pilar tersebut secara bersama-sama dan seimbang. Dengan merujuk pada Tujuan Pendidikan Nasional, ketetapan wajib belajar 9 tahun, hakekat matematika, dan keempat pilar di atas, maka harapan terhadap siswa pada pendidikan dasar dan menengah dalam matematika dapat dirumuskan sebagai berikut.

(1) Melalui proses learning to know, secara umum siswa diharapkan memiliki pemahaman dan penalaran terhadap produk dan proses matematika (apa, bagaimana, dan mengapa) yang memadai sebagai bekal melanjutkan studinya dan atau menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam matematika ditanamkan kemampuan memberikan alasan dan menjelaskan serta memberikan prediksi terhadap suatu permasalahan. Sesuai dengan tahap perkembangan berpikirnya, para siswa belajar matematika mulai dari tingkat SD, SLTP, hingga SMU mempelajari matematika beranjak dari hal-hal konkrit hingga ke hal-hal abstrak/formal.

(2) Proses learning to do diharapkan memberi kesempatan kepada siswa memiliki keterampilan dan mendorong siswa mau melaksanakan proses matematika dalam bentuk doing math yang memadai dan memacu peningkatan perkembangan intelektualnya. Beberap alasan mengapa belajar matematika melakukan proses learning to do. Pertama, pembelajaran matematika berorientasi pada pendekatan konstruktivisme, di mana siswa membentuk pengetahuannya sendiri melalui proses asimilasi dan akomodasi. Kedua, pada dasarnya matematika merupakan proses yang aktif baik secara fisik maupun mental, proses dinamik, dan proses generatif. Dalam kaitan dengan learning to do siswa pada pendidikan dasar (SD dan SLTP) dan pendidikan menengah (SMU) didorong melaksanakan proses matematika (doing math) mulai dari yang sederhana hingga ke yang kompleks. Dalam matematika, diharapkan siswa dapat melaksanakan kegiatan matematika yang meliputi keterampilan perhitungan rutin dan non rutin serta berpikir tingkat tinggi yang melibatkan aspek pemecahan masalah dan penalaran matematika. Dalam usaha melaksanakan learning to do, persoalan dan permasalahan matematika di sekolah disajikan dengan bahasa dan konteks yang sesuai dengan berpikir dan lingkungannya.

(3) Dalam melaksanakan proses matematika (doing math) secara bersamaan, siswa diharapkan pula menghayati pilar ketiga, yaitu learning to be. Selanjutnya, dengan learning to be siswa diharapkan memahami, menghargai atau mempunyai apresiasi terhadap nilai-nilai dan keindahan akan produk dan proses matematika yang ditunjukkan melalui sikap yang ulet, bekerja keras, sabar, disiplin dan percaya diri.

(4) Pelaksanaan belajar matematika yang berorientasi pada learning to do dan learning to be, baik dalam bentuk belajar kelompok, atau klasikal merupakan latihan belajar dalam suasana learning to live together in peace and harmony. Penciptaaan suasana belajar yang demikian menurut pilar keempat ini memberi kesempatatan kepada siswa untuk dapat belajar dan bekerja sama, saling menghargai pendapat orang lain, menerima pendapat yang berbeda, belajar mengemukakan pendapat dan atau bersedia sharing ideas dengan orang lain dalam melaksanakan tugas-tugas matematika, khususnya tugas-tugas lain yang lebih luas. Dengan kata lain, suasana belajar matematika yang berorientasi pada pilar learning to live together in peace and harmony diharapkan bahwa siswa mampu bersosialisasi dan berkomunikasi dalam matematika.

Materidirujukdari:http://rbaryans.wordpress.com/2007/06/08/kecenderungan-pembelajaran-matematika-pada-abad-21/





Sebuah Realita

Ungkapan Hati Yang Dalam
Oleh: Wahyudi

Seorang pendidik adalah teman bagi siswa. Teman bermain, belajar, bercanda, berbagi, teman untuk mencari. Disaat seorang teman itu merasa lebih, maka akan senantiasa memberi, jika teman itu merasa tahu maka akan senantiasa memberi tahu, Disaat teman itu merasa bijak maka akan menasehati, itu lah seorang teman yang hanya beracuan terhadap apa yang ia miliki.
Disaat seorang pendidik lupa akan apa yang seharusnya dan tidak tahu tentang apa yang bisa ia berikan untuk anak didiknya, maka ia akan berlaku sebagai seorang Juragan yang hanya bisa menyuruh, memarahi, memumukul bagi pekerjanya yang telah berbuat salah.
Disaat seorang pendidik itu sadar tentang tugas dan posisinya, menyadari bahwa siswa itu unik, berbeda satu dengan yang lain, mereka perlu diberi kesempatan untuk menggunakan otaknya yang selama itu hanya sebagai pelengkap untuk digunakan untuk berpikir tentang apa yang dibicarakan di kelas. Hal ini akan membuat siswa merasakan bahwa ia juga manusia yang diberi otak dan pikiran untuk digunakan bukan sekedar pajangan. Maka tanpa dimintapun mereka akan suka cita belajar, menghargai karena sudah dihargai, rendah hati karena diberi hati dan perhatian, bijak karena biasa musyawarah, sopan karena senantiasa teratur.
Semua akan sangat tergantung akan bagaimana seorang pendidik memaknai bahwa apa yang ia lakukan dan miliki adalah anugerah Tuhan. Dan siswa adalah kepercayaan yang Tuhan berikan bagi seorang pendidik. Jadi tanggung jawabnya hanya kepada Tuhan.

Senin, 12 Januari 2009

Penerapan PBL

Penerapan Problem Based Learning Dalam Pembelajaran Matematika SD Untuk Meningkatkan Pemikiran Kritis Siswa

Oleh: Wahyudi


I. Pendahuluan


Matematika dari tahun ke tahun berkembang semakin meningkat sesuai dengan tuntutan zaman. Tuntutan zaman mendorong manusia untuk lebih kreatif dalam mengembangkan atau menerapkan matematika sebagai ilmu dasar. Diantara pengembangan yang dimaksud adalah masalah pembelajaran matematika. Sugeng , M. (2001;2) menyatakan pengembangan pembelajaran matematika sangat dibutuhkan karena keterkaiatan penanaman konsep pada siswa, yang nantinya para siswa tersebut juga akan ikut andil dalam pengembangan matematika lebih lanjut ataupun dalam mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Namun demikian, pengembangan matematika tersebut akan ikut terhambat oleh pandangan masyarakat yang keliru tentang kemudahan dalam proses pembelajaran. Akibatnya, mata pelajaran matematika diampu oleh guru yang tidak profesional , tidak mau kreatif dalam mengembangkan pembelajaran. Semua ini dapat berakibat terhadap rendahnya motivasi dan minat siswa dalam mempelajari matematika. Akibat lebih lanjut adalah rendahnya pencapaian prestasi belajar siswa.

Kondisi pembelajaran matematika seperti diatas juga didukung oleh pernyataan para pakar , diantaranya Soedjadi dan Marpaung yang dikutip oleh Muhammad A. (2002) menyebutkan bahwa: (1) pembelajaran matematika yang selama ini dilaksanakan oleh guru adalah pendekatan konvesional , yakni ceramah, tanya jawab dan pemberian tugas atau mendasarkan pada “behaviorist “ atau “strukturalist”; (2) pengajaran matematika secara tradisional mengakibatkan siswa hanya bekerja secara prosedural dan memahami

matematika secara mendalam; (3) pembelajaran matematika yang berorientasi pada psikologi perilaku dan strukturalis yang lebih menekankan pada hafalan dan drill merupakan penyiapan yang kurang baik untuk kerja profesional bagi para siswa nantinya; (4) kebanyakan guru mengajar dengan menggunakan buku paket sebagai “resep“ mereka mengajar matematika halaman per halaman sesuai dengan apa yang ditulis; dan (5) strategi pembelajaran lebih didominasi oleh upaya untuk menyelesaikan materi pembelajaran dan kurang adanya upaya agar terjadi proses dalam diri siswa untuk mencerna materi secara aktif dan konstruktif. Dengan adanya tuntutan pengembangan matematika dan disisi lain dengan kondisi yang ada seperti di atas , maka perlu diupayakan mencari pemecahannya. Pemerintah melalui Puskur Balitbang Dekdinas pada tanggal 20 Agustus 2001 telah menggulirkan krikulum baru yang berbasis kompetensi.

Dengan adanya kurikulum ini diharapkan dapat menjadi instrumen yang tepat untuk mengatasi masalah yang ada dalam pendidikan. Namun demikian, kurikulum berbasis kompetensi inipun akan bernasib sama dengan kurikulum sebelumnya, jika tidak didukung oleh paradigma pembelajaran yang tepat dan ditangani guru yang profesional dan berfikir inovatif. Dengan demikian kurikulum berbasis kompetensi ini menuntut adanya perubahan paradigma baru dari ‘guru mengajar‘ menjadi ‘murid belajar’. Akan tetapi merubah paradigma tidaklah mudah, diperlukan suatu kemauan dan tekat yang kuat dari guru


2. Apa dan Bagaimana Penerapan Problem Based Learning Dalam Proses Pembelajaran

2.1 Problem Based Learning (PBL)

Suatu metode pembelajaran di mana pembelajar bertemu dengan suatu masalah yang tersusun sistematis; penemuan terpusat pada pembelajar dan proses refleksi (Teacher & Educational Development,University of New Mexico School of Medicine, 2002: 2)

Problem Based Learning (PBL) adalah suatu metode pembelajaran dimana peserta didik dihadapkan pada suatu masalah, kemudian diikuti oleh proses pencarian informasi yang bersifat student-centered. Dari aspek filosofi, problem based learning dipusatkan pada peserta didik dan problem first learning.

Peserta didik mengidentifikasi pokok bahasan (issue) untuk mengembangkan pemahaman tentang berbagai konsep yang mendasari masalah tadi serta prinsip pengetahuan lainnya yang relevan. Fokus bahasan biasanya berupa masalah (tertulis) mencakup beragam fenomena yang membutuhkan penjelasan. Problem Based Learning (PBL) bertujuan agar peserta didik memperoleh dan membentuk pengetahuannya secara efisien dan terintegrasi. Kegiatan untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman baru melalui pembahasan masalah tadi dikenal sebagai “problem first learning” (Harsono, 2004: 2-3).

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut di atas, penulis mengambil sebuah pemahaman bahwa Problem Based Learning merupakan metode pembelajaran dimana suatu masalah pokok dapat menjadi stimulus dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian masalah utama tersebut dapat menggali segenap potensi siswa untuk dapat mengarahkan kemampuannya dengan memanfaatkan sumber daya belajar yang ada guna menyelesaikan masalah. Rancangan masalah harus berasal dari permasalahan dilematis dan kompleks yang lazim dialami mereka di dunia nyata. Sehingga akan memotivasi para siswa untuk meneliti dan menemukan solusi terbaik.

Strategi pembelajaran ini dikenalkan pertama kali oleh sekolah medis Mc Master USA tahun 1969 hingga sekarang. Kebanyakan problem based learning digunakan di bidang medis (kedokteran, farmasi, dan sejenisnya). Akan tetapi PBL dapat diaplikasikan pada berbagai jenis disiplin ilmu, seperti: ekonomi, teknik, matematika, hukum, sosial, ilmu alam, ilmu pendidikan, dan lainnya (Harsono, 2004: 1, 14).


2.2 Mengapa kita perlu mengembangkan Pembelajaran Matematika Dengan Problem Based Learning?

Penerapan metode problem based learning tidak hanya meningkatkan hasil belajar tapi juga membekali peserta didik dengan pengalaman belajar menyelesaikan masalah sesuai materi pelajaran secara mandiri. Maka peneliti merumuskan tujuan penerapan problem based learning sebagai berikut:

1) Untuk mendekatkan para siswa pada pembelajaran matematika dengan perkembangan situasi dunia nyata.

2) Dapat membantu para siswa mengembangkan pemikiran dan ketrampilan berpikir secara kritis agar memperoleh kecakapan hidup (life skill).

3) Menempatkan siswa sebagai subyek dan obyek pembelajaran.

Problem based learning dirancang untuk mengembangkan:

1. Kemampuan mengintegrasikan (penyatuan) pengetahuan yang dimiliki, kemudian mendasarkan pada konteks pengetahuan khusus

2. Kemampuan mengambil keputusan sekaligus mengembangkan sikap dan pemikiran kritis

3. Kemampuan belajar mandiri dan membangkitkan semangat untuk belajar sepanjang hayat

4. Kecakapan interpersonal, kolaborasi, dan komunikasi

5. Konstruksi struktur kognitifnya sendiri dan terampil mengevaluasi

6. Perilaku dan etika yang professional

(Teacher & Educational Development, University of New Mexico School of Medicine (2002: 2-3).


3. Pembelajaran Dengan Metode Problem Based Learning

Karaktersitik umum dari problem based learning yakni masalah sebagai awal pembelajaran. Rancangan masalah yang menjadi issue berasal dari masalah dilematis lingkungan sekitar untuk menarik minat peserta didik. Masalah harus disesuaikan dengan kompetensi dasar, materi, dan hasil belajar yang ingin dicapai.

Menurut Duch (CUTSD 1997: 2) permasalahan yang baik dapat mensukseskan pembelajaran. Rancangan permasalahan yang baik adalah:

1) Beberapa fakta yang terjadi di dunia nyata di kemas dalam bentuk peta masalah yang dapat menarik minat siswa.

2) Memilih salah satu fakta yang banyak dibahas oleh mass media menjadi pokok masalah pada bahasan suatu pembelajaran.

3) Dapat memotivasi para siswa dalam menyusun argumen kuat berdasarkan beberapa informasi maupun referensi yang mereka peroleh.

4) Dapat memunculkan sikap saling kerjasama antara siswa untuk membahas maupun menyelesaikan masalah tersebut.

5) Pertanyaan awal yang disajikan pada masalah dapat menjadi petunjuk semua siswa untuk mengambil peran dalam diskusi. Pertanyaan ini harus: (a) bersifat terbuka terhadap berbagai bidang pengetahuan maupun tanggapan; (b) dapat dihubungkan dengan pengetahuan dasar sebelumnya maupun semua nilai-nilai berbagai aspek sebagai bentuk kontribusi pengembangan masalah atau solusi; (c) dipusatkan pada isu-isu yang dapat mengundang perdebatan atau belum terpecahkan secara tuntas.

6) Dapat memotivasi para siswa untuk terlibat dalam proses berpikir yang kritis dan analitis.

7) Setiap unit-unit spesifik dari pengembangan pokok masalah harus dapat disatukan kembali menjadi bentuk pemahaman suatu materi pembelajaran.

Peserta didik sebelumnya telah memiliki dasar pengetahuan, kecakapan, kepercayaan, dan konsep-konsep. Ketika peserta didik dihadapkan pada permasalahan nyata yang dilematis maka mereka akan memperhatikan, mengorganisir, menginterpretasi, dan mendapatkan informasi maupun pengetahuan baru. Penerapan problem based learning dalam pendidikan membantu pembelajar menghubungkan hal-hal apa yang mereka ketahui, mereka perlukan untuk mencapai tingkat pemikiran yang lebih baik (better thinking).

(Teacher & Educational Development, University of New Mexico School of Medicine (2002: 3-4).

Awal kegiatan penerapan problem based learning yakni membuat persiapan problem based learning dalam pembelajaran matematika. Menurut Wood (1995: 5-120) persiapan problem based learning adalah:

1. Menentukan topik atau materi pokok pembelajaran.

2. Menentukan isu-isu permasalahan didunia nyata

3. Menyusun daftar keinginan peserta didik agar belajar dengan nyaman

4. Merancang penyajian masalah untuk dapat memandu peserta didik

5. Menentukan alokasi waktu dan jadwal pertemuan pembelajaran

6. Mengorganisir kelompok belajar

7. Merancang sumber daya belajar

8. Merancang lingkungan belajar yang nyaman untuk mengembangkan “Keterampilan Memproses” peserta didik.

9. Merancang format penilaian proses dan hasil belajar

Penerapan problem based learning (get started) dimulai dengan:

1. Pengenalan problem based learning pada pengajar (guru matematika dan peserta didik kelas V SD Kristen 3 Salatiga)

2. Menetapkan aturan main penerapan problem based learning. Penelitian ini menggunakan tipe interaksi antar kelompok (group interaction). Tutor dan peserta didik bekerja sama mengembangkan pembelajaran.

3. Menetapkan harapan atau tujuan penerapan problem based learning untuk meningkatkan kemampuan berpikir logis dan sikap positip siswa terhadap matematika.

Setelah masalah disajikan pada peserta didik, maka pembelajaran berlangsung dalam proses tutorial. Guru berperan sebagai tutor. Satu masalah di bahas oleh beberapa kelompok. Tutor disebut juga instruktur, moderator, fasilitator, atau leader. Tutor berasal dari pendidik. Tutor bertanggung-jawab membantu kelompok mengidentifikasi kekeliruan kinerja, pendapat yang menyimpang, memotivasi anggota kelompok mengkomunikasikan, dan saling mengevaluasi hasil kerja secara bertahap. Tutor menyiapkan ruang yang nyaman untuk proses pembelajaran (Harsono, 2004: 26-29).

Peran tutor dalam proses problem based learning adalah:

1. Pengendali proses

a. Bertindak selaku penjaga pintu dan penjaga waktu.

b. Sebagai petugas tanpa menjatuhkan sanksi kepada peserta didik.

c. Campur tangan apabila ada konflik di kalangan peserta didik.

d. Mendorong terjadinya situasi yang nyaman untuk terlaksananya dinamika kelompok.

2. Pengamat perilaku kelompok

a. Mendorong terjadinya interaksi kelompok, keberanian, dan persetujuan.

b. Mendorong peserta didik untuk mengembangkan kualitas individual.

c. Membantu peserta didik untuk menghayati kemampuan dan menyadari kelemahan mereka.

d. Mendorong peserta didik sebagai agen perubahan di dalam kelompok

e. Bertindak sebagai role model.

3. Pemecah masalah

a. Mendorong terjadinya partisipasi aktif, konsentrasi perhatian, dan diskusi lebih hidup.

b. Memeriksa kembali seluruh hasil diskusi, mengembalikan pertanyaan peserta didik untuk dijawab sendiri oleh mereka, memberi komentar dan saran, serta merangsang untuk berpikir misalnya mencoba untuk mengembangkan hipotesis.

c. Mendorong peserta didik untuk membahas dan mendefinisikan kembali penjelasan yang ada, membuat hubungan atau kaitan konsep, proses dan sebagainya.

d. Mendorong peserta didik untuk menganalisis, membuat sintesis dan evaluasi tentang masalah atau data, serta meringkas hasil diskusi.

e. Membantu peserta didik dalam hal identifikasi sumber dan materi belajar. (Harsono, 2004: 31-32)

Aktivitas guru dan peserta didik dalam tutorial sebagai berikut:

1. Aktivitas Peserta Didik

a. Mengidentifikasi pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki.

b. Mengidentifikasi masalah dan menggali sumber informasi yang relevan.

c. Menyelidiki dan menginterpretasi informasi yang terkumpul.

d. Belajar secara mandiri (self-directed learning) (Harsono, 2004: 35-42)

e. Memprioritaskan beberapa alternatif solusi masalah.

f. Mengintegrasikan, pendapat untuk menyeleksi solusi masalah.

(Cindy L. Lynch, Susan K. Wolcott, and Gregory E. Huber, 2001: 2-5)

g. Refleksi diri (Teacher & Education Development, University of New Mexico School of Medicine, 2002: 26 & 29).

Aktivitas peserta didik (a, b, c, e, dan f) mengacu pada “steps for better thinking: a developmental problem solving process” dari Cindy L. Lynch, Susan K. Wolcott, and Gregory E. Huber).

2. Aktivitas Guru sebagai Tutor

a. Menjadikan pembelajaran terpusat pada peserta didik.

b. Merancang lingkungan yang memotivasi peserta didik untuk belajar.

c. Mengatur waktu dan proses tutorial.

d. Menggunakan pertanyaan efektif.

e. Mengatur dinamika kelompok.

f. Menyediakan umpan balik yang bersifat membangun.

(University of New Mexico School of Medicine, 2002: 1-35)

g. Evaluasi hasil belajar peserta didik pada ranah kognitif.