Selasa, 25 November 2008

Mengenal Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga

Saat ini saya sedang di Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah, Kalibenng, Salatiga. Sekolah yang luar biasa. "Edan" dalam arti positif, luar biasa dalam arti sesungguhnya. Saya pun bisa berbagi cerita menggunakan fasilitas yang ada di sekolah ini.

Mungkin Anda pernah mendengar sekolah alternatif yang satu ini. Metro TV atau Trans TV pernah menayangkan liputannya. Kompas juga pernah memuat kisah perjuangan sekolah ini, yang dipelopori oleh Bahrudin.

Saya mengenal Bahrudin jauh sebelum ia merintis sekolah ini, namun kali ini saya tak ingin bercerita tentangnya. Saya ingin berbagi tentang perkembangan sekolah ini.

Ketika awal didirikan, sekolah SMP Alternatif ini baru memiliki puluhan murid. Saat ini, untuk tingkat SMA mereka sudah punya dua kelas, sedangkan jumlah siswa keseluruhannya sudah mencapai 150-an orang.

Di sini, siswa tidak dipatok harus belajar sesuai kurikulum seperti sekolah formal. Si anak sedang ingin belajar apa, saat itulah ia mencari sendiri materi pelajaran yang ingin diketahuinya. Juga kalau ia ingin mencari partner untuk diskusi tentang suatu hal.

Dari sini, anak sudah dirintis untuk memilih sendiri apa yang menjadi minat mereka, sehingga menjadi lebih fokus untuk menekuninya. Dan cara belajarnya juga langsung dari "kehidupan nyata."

Dari sisi murid, siswa yang tadinya cuma berasal dari Salatiga dan sekitarnya kini mulai lebih variatif. Kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, Jombang, Jogjakarta, juga memberi sumbangan asal siswa. Di sini, mereka tinggal di rumah-rumah penduduk. Soal biaya, orang tua anak sendiri yang merundingkan besarnya "uang pondokan" dengan pemilik rumah yang ditinggali.

Lalu, jangan bicara soal produktivitas di sini. Anak-anak yang umurnya masih belasan, sudah bisa membuat film sendiri. Setiap akhir pekan di akhir bulan, ada pemutaran film ini untuk ditonton ramai-ramai.

Kalau film saja dengan mudahnya diproduksi, apalagi cuma sekadar buku. Di sini, karya-karya siswa sudah dibukukan dan diterbitkan oleh penerbit progresif dari Jogjakarta, LKiS. Juga karya-karya para gurunya.

Pendek kata, sekolah ini benar-benar menjadi alternatif bagi pendidikan yang sekarang ini sangat terasa membelenggu, tidak membebaskan. Tak terhitung sudah sekolah-sekolah formal yang mengunjungi "sekolah aneh" ini untuk menimba ilmu. Saat saya ada di sana pagi ini, sudah ada tiga sekolah yang akan datang berkunjung dan belajar.

Saat ini, Q-T sedang membangun lumbung informasi yang bisa diakses oleh siswa atau warga sekitar yang membutuhkan. Soal akses internet, nggak usah ditanya deh. Di sini, akses internet tersedia bebas 24 jam. Anda mau ngakses dari masjid, dari kebun belakang, dari halaman beranda depan, semuanya bisa asalkan Anda berbekal laptop yang memiliki wi-fi.

Saya berharap anak-anak di sini juga berbagi cerita sendiri tentang pengalaman mereka belajar di sekolah ini. Saya sudah ceritakan kepada pak "kepala suku" Bahrudin, bagaimana memanfaatkan Wikimu untuk berbagi cerita. Mudah-mudahan, kisah yang ditunggu-tunggu itu akan muncul, baik dari guru maupun dari murid-muridnya. (Oleh:aloysius weha)

SekolahAlternatif


Munculnya sekolah alternatif saat ini, awalnya karena keprihatinan seseorang atas pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Maka muncullah sekolah-sekolah yang menawarkan program-program yang berbeda dari sekolah-sekolah pada umumnya. Contohnya, munculnya SLB (Sekolah Luar Biasa) yang menerima murit-murit yang mengalami cacat mental. Disana anak-nak yang cacal mental mendapat kesempatan untuk mendapat pendidikan.
Selain itu, tujuan sekolah alternatif yang menerima keahlian tertentu dari siswa-siswanya sesuai dengan keahlian dan bakt yng ingin didalaminya. Seperti ”Universitas Tikyan” sebutan pendidikan bagi anak-anak jalanan yang terdapat di daerah Yogyakarta yang diirikan pada tahun 1988. Pendidikan yang memiliki julukan ”sitik-sitik lumayan” sesuai dengan singkata ”Tikyan”, merupakan salah satu contoh pendidikan yang menawakan kelas-kelas khusus pada kampurs mereka yang ingin mendalami ahli khusus. Berbagai macam ketrampilan di ajarkan oleh kampus ini seperti membatik, kerajinan tangn, membuat kertas daur ulang kerajinan kayu, melukis dan lain-lain. Tentu saja disana tidak menernbitkan ijasah kerena tujuan pendidikan mereka adalh memanusiakan manusia. Yang nantinya pendidikan yang diperoleh dapat membantu mereka langsung menghasilkan uang.
Masih banyak sekolah alternatif yang ada di Indonesia lain yang memiliki bentuk dan tujuan yng berbeda pula. Seperti Pesantren dan sekolah minggu yang memiliki tujuan mencerdaskan siswa-siswa sesuai agama yang dianut. Selain itu juga sudah muncul Pendidikan di Rumah atau lebih dikenan dengan Home Schooling. Pendidikan semacam ini adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh sebuah keluarga sendiri terhadp anggota keluarga yang masih usia sekolah. Tujuan dari keluarga itu sendiri juga macam-macam. Seperti, menjaga anak-anak dari pengaruh buruk lingkungan yang negartif, menyelamatkan anak baik fisik maupun mental dari pengaruh teman sebayanya, dan lain sebagainya.
Sekolah alternatif akan sangat bermanfaat sekali bagi perkembangan anak-anak di Indonesia. Karena sekaligus membantu pemerintah untuk mencerdaskan anak bangsa. Namun harus diketahui bahwa, hal itu akan tercapai asalkan tujuan utama itu masih diIngat. Kerena kadangkala masih ada pihak-pihak yang mementingkan materi (uang) dari pad pendidikan. Hal itu secara otomatis akan mengakibatkan tujuan utama terbengkalai dan kualitas pendidikan di Indonesia menurun.
Jika saya dapat mengataka kepada semua organ-organ yang menangani pendidikan, ”Kembali lah kepada tujuan awal kita. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah terpenting. Secara otomatis kehidupan di Indonesia akan berubah menjadi Indah jika semua anak bangsa Cerdas. Maka hal-hal yang ditakut seperti kemiskinan akan berkurang sendirinya. Saling bekerja sama dan tidak saling menjatuhkan satu pihak dengan pihak lain. Indonesia memiliki bibit-bibit yang tersembunyi jika kita mau membuka mata.” TERIMA KASIH (Oleh: Galih Pamula Sari Mhs. S1 PGSD UKSW 2008)

Akhir-akhir ini mulai muncul sekolah-sekolah alternatif yang menyelenggarakan sekolah denganaturansendiri.
1. Apa yang menyebabkan hal ini bisa terjadi
2. Bagaimana kondisi ini terhadap nasib pendidikan di Indonesia
3. Bagaimana pandangan Anda melihat kondisi ini

1. Karena orang tua dan masyarakat yang merasakan bahwa suasana pembelajaran di banyak sekolah sering kurang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak yang berujung tertekannya kreativitas alamiah anak. Dengan realita ini berkembanglah gagasan dari para pakar pendidikan yang ingin menciptakan sebuah sistem pendidikan sekolah yang menyenangkan sekaligus mencerdaskan bagi anak. Lalu dimunculkannya sekolah alternatif, misalnya, sekolah alam, yang mengajak siswanya belajar lebih banyak di alam.. Kekuatan homeschooling lebih memberikan kemandirian dan kreativitas bagi anak, peluang untuk mencapai kompetensi individual secara maksimal, terlindungi dari penyakit sosial seperti narkoba, konsumerisme, pergaulan menyimpang dan tawuran, serta memungkinkan anak siap menghadapi kehidupan nyata dengan lingkup pergaulan yang lebih luas..
http://www.pls-unnes.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=32

2. keberadaan sekolah formal di anggap sudah tidak efektif karena menjalankan program pendidikan yang sangat mekanis.
lembaga pendidikan formal telah kehilangan aspek humanisme dan karakter sejatinya karena telah menjadikan anak didik sebagai robot.
Di Republik Indonesia tercinta ini sepertinya pendidikan hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki uang. Mereka yang kaya bisa memberikan pendidikan yang baik bagi anak - anaknya dan menyekolahkan mereka di sekolah terbaik dan universitas terkemuka atau bahkan ke luar negeri. Sementara bagi mereka yang kurang beruntung hanya bisa belajar seadanya saja. Dengan adanya sekolah-sekolah alternatif ini masyarakat dari status ekonomi rendah dapat mengenyam pendidikan

http://sekolah.nh.web.id/2008/05/efektifkah-sekolah-alternatif/

3. Menurut saya sekolah alternatif dengan menerapkan biaya pendidikan
(Oleh: Hadi Widodo)

LandasanKependidikan

Keilmuan adalah Pengetahuan yang paling eksak yang diverifikasi secara cermat dan bersifat umum yang dapat diperoleh manusia,Ilmu adalah yang empiris,rasional, general dan kumulatif dari keempat-empatnya serentak,Ilmu pengetahuan sendiri sangat bersandar akan fakta empiris. Fakta empiris, yaitu: fakta yang dapat dialami langsung oleh manusia dengan mempergunakan pancainderanya, merupakan objek yang dipelajari oleh ilmu pengetahuan. Di luar hal yang diebutkan di atas adalah di luar jangkauan ilmu pengetahuan.Dan berdasarkan kenyataan (Realitas).
lmu pendidikan adalah ilmu yg mempelajari serta memproses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, pembuatan mendidik
tetapi definisi yg terpenting :
_Meningkatkan pengetahuan, pengertian, kesadaran, dan toleransi
_Meningkatkan "questioning skills" dan kemampuan menganalisakan sesuatu - termasuk pendidikannya!
_Meningkatkan kedewasaan individu - dari definisi di atas kami harus sangat kuatir kalau tujuannya hanya "pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok" - kita perlu tahu; (a) merubah sesuai dengan keinginan siapa, (b) menguntungkan siapa, (c) apakah kita menjadi robot atau manusia kalau "sikap dan tata laku" sama?
_Untuk perkembangan negara (negara yang mana saja) kami sangat perlu pendidikan yang menghargai kreativitas dan "individual thinking" supaya negara dapat membuat sesuatu yang baru dan lebih baik (tidak hanya meng-copy negara lain).
materi referensi:http://www.pendidikan.net/bahasa21.html
(http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20070924012639AA1O
ciri-ciri keilmuan didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap tiga pertanyaan pokok yang mencakup apa yang ingin kita ketahui (ontologis), bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi), dan apa nilai kegunaannya bagi kita (axiologi),ciri-ciri ilmu pendidikanSistematis,metodis, rasional, empiris, umum,kumulatif dan koheren (bertalian)tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas).Memiliki metode sebagai cara yang tetap dalam mengumpulka,memformulasi, dan menganalisis data, sehingga ilmu dapat dikembangkan dan dipelajari. dan dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.
Ketidakberdayaan dalam epistemologi menjadi titik lemah dalam membangun metodologi keilmuan. Dalam banyak kasus siswa mampu hafal banyak rumus atau teori saat menghadapi ujian, namun akan segera hilang saat ujian telah berlalu, dan lebih parah lagi siswa hanya mampu menyelesaikan soal jika pertanyaan sama persis dengan rumus yang dihafal. Banyak siswa yang bingung setelah rumus diubah-ubah meskipun substansinya sama, hal ini menunjukkan bahwa pola pikir siswa sangat mekanis, seperti robot yang tidak punya naluri untuk improvisasi, inovasi, dan lebih-lebih analisis. (http://www.uniga.ac.id/cetak.php?id=32)
Dasar keilmuan dan Ilmu Pendidikan adalah Epistemologi,Aksiologi,dan Ontologi.Kemandekan dalam epistemologi adalah kematian kreativitas dan kematian dasar-dasar keilmuan. Jika kondisi ini dibiarkan maka peningkatan sumber daya insani akan susah dicapai, sebab yang dihasilkan sampai dengan saat ini hanyalah siswa – siswa yang sekedar hafal rumus ataupun teori Fisika, Kimia, Biologi, PPKn dan mata pelajaran lainnya, namun tidak tahu asal-usul rumus dan bangunan keilmuan dari materi yang dipelajari.
Membangun epistemologi keilmuan berarti mengkonstruksi keilmuan. Mengkonstruksi keilmuan berkaitan erat dengan filsafat konstruksivisme. Dalam filsafat konstruktivisme pengetahuan merupakan hasil konstruksi bukanlah suatu imitasi dari kenyataan. Pengetahuan dikonstruk dari konstruksi kognitif melalui pengalaman, dan proses mengkonstruksi itulah siswa terlibat dalam kegiatan berepistemologi.
Aksiologi (nilai-nilai dari ilmu atau bidang kajian) memegang peran yang sangat vital dalam norma dan tata hidup umat manusia baik dalam lingkup lokal, nasional, maupun global. Aksiologi penting disampaikan karena setiap materi yang diajarkan mengandung nilai (value bound) dan tidak bebas nilai (value free). Tanpa disampaikannya unsur aksiologi dari setiap kajian akan sangat membahayakan bagi kehidupan umat manusia. Ketiadaan unsur aksiologi menjadikan kimia sebagai bagian dari senjata pemusnah masal, biologi akan menjadi racun yang mematikan, dan lain sebagainya. Hanya saja problem yang tetap ada adalah bagaimana menyampaikan unsur aksiologi dari setiap ilmu yang efektif?. Bukankah dalam semua pendidikan agama diajarkan hal yang benar/salah, halal/haram, legal/illegal namun perilaku menyimpang selalu ada?.
Memang out put pendidikan selama ini banyak yang menjadi shizofrenia dimana mereka sadar akan hukum dan tata nilai namun tetap melanggar. Ini menunjukkan pendidikan belum mampu membangun jiwa out putnya secara maksimal, katakanlah caracter building. Namun kita juga sepakat bahwa bangunan jiwa tidak saja dipengaruhi oleh proses pendidikan tetapi juga lingkungan, keluarga, dan rizki yang dimakan.
Betapapun susahnya membangun jiwa out put pendidikan, yang jelas penyampaian aksiologi sebagai satu dari tiga pilar bidang kajian akan sangat penting, sebab tidak saja menjadi sebuah pengetahuan dari kemamfaatan ilmu namun juga menjadi peletakan dasar-dasar nilai bidang kajian yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan.
Ontologi an sich, sehingga tidak dicapai proses dan tidak mempunyai kaitan dengan tata nilai dalam bermasyarakat.
Epistemologi,aksiologi,dan ontologi sebagai pilar keilmuan harus senantiasa diperjuangkan untuk selalu hadir dalam pembelajaran di sekolah. Tanpa adanya penyampaian dari ketiganya maka pendidikan akan menjadi hambar dan hanya menghasilkan siswa-siswa yang sekedar hafal rumus dan teori dari setiap pengetahuan namun kering makna.
(http://www.malhikdua.sch.id/Kolom/Guru/DISORIENTASI-PENDIDIKAN.html)
Tujuan keilmuan dan ilmu pendidikan,Secara umum tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian secara terperinci dipertegas lagi dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bertolak dari tujuan pendidikan nasional tersebut, dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan merupakan tujuan akhir yang harus diterjemahkan lebih konkret melalui sebuah proses. Proses dimaksud adalah usaha yang terpola, terencana, dan tersistematisasi melalui proses pendidikan. Keinginan luhur bangsa Indonesia itu lahir dari tatanan nilai yang dianut dan terakumulasi dari dalam kesadaran dirinya sebagai bangsa dan kesadaran terhadap dunia di sekitarnya. (http://udhiexz.wordpress.com/2008/05/27/ilmu-pendidikan-islam-versi-perspektif-nasional-dan-lembaga-pendidikan/)
Fungsi keilmuan dan Ilmu Pendidikan sebagai penuju ke arah kemajuan, dan kemajuan itu digambarkan sebagai masyarakat tahap positif, atau masyarakat industrial,dan memunculkan teori-teori baru bisa diterima dan dapat bermanfaat bagi masyarakat.Artinya di sini bahwa ada nilai-nilai yang menjadi muatan suatu ilmu bisa berkembang dan bermanfaat.
(http://mawardiumm.blogspot.com/2008/03/strategi-pengembangan-ilmu-tanggung.html)
Demikian diskusi dari kelompok kami yang terdiri dari:
• Agnes Maradita Ruscasari (292008146)
• Fitri Ariyanti (292008142)
• Linta Rahmawatiningrum (292008089)
• Nila Artanti (292008047)
• Kartika Maya Sari (292008051)
• Vania Abriastanti (292008043)

Kependidikan

Keilmuan adalah Pengetahuan yang paling eksak yang diverifikasi secara cermat dan bersifat umum yang dapat diperoleh manusia,Ilmu adalah yang empiris,rasional, general dan kumulatif dari keempat-empatnya serentak,Ilmu pengetahuan sendiri sangat bersandar akan fakta empiris. Fakta empiris, yaitu: fakta yang dapat dialami langsung oleh manusia dengan mempergunakan pancainderanya, merupakan objek yang dipelajari oleh ilmu pengetahuan. Di luar hal yang diebutkan di atas adalah di luar jangkauan ilmu pengetahuan.Dan berdasarkan kenyataan (Realitas).
lmu pendidikan adalah ilmu yg mempelajari serta memproses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, pembuatan mendidik
tetapi definisi yg terpenting :
_Meningkatkan pengetahuan, pengertian, kesadaran, dan toleransi
_Meningkatkan "questioning skills" dan kemampuan menganalisakan sesuatu - termasuk pendidikannya!
_Meningkatkan kedewasaan individu - dari definisi di atas kami harus sangat kuatir kalau tujuannya hanya "pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok" - kita perlu tahu; (a) merubah sesuai dengan keinginan siapa, (b) menguntungkan siapa, (c) apakah kita menjadi robot atau manusia kalau "sikap dan tata laku" sama?
_Untuk perkembangan negara (negara yang mana saja) kami sangat perlu pendidikan yang menghargai kreativitas dan "individual thinking" supaya negara dapat membuat sesuatu yang baru dan lebih baik (tidak hanya meng-copy negara lain).
materi referensi:http://www.pendidikan.net/bahasa21.html
(http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20070924012639AA1O
ciri-ciri keilmuan didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap tiga pertanyaan pokok yang mencakup apa yang ingin kita ketahui (ontologis), bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi), dan apa nilai kegunaannya bagi kita (axiologi),ciri-ciri ilmu pendidikanSistematis,metodis, rasional, empiris, umum,kumulatif dan koheren (bertalian)tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas).Memiliki metode sebagai cara yang tetap dalam mengumpulka,memformulasi, dan menganalisis data, sehingga ilmu dapat dikembangkan dan dipelajari. dan dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.
Ketidakberdayaan dalam epistemologi menjadi titik lemah dalam membangun metodologi keilmuan. Dalam banyak kasus siswa mampu hafal banyak rumus atau teori saat menghadapi ujian, namun akan segera hilang saat ujian telah berlalu, dan lebih parah lagi siswa hanya mampu menyelesaikan soal jika pertanyaan sama persis dengan rumus yang dihafal. Banyak siswa yang bingung setelah rumus diubah-ubah meskipun substansinya sama, hal ini menunjukkan bahwa pola pikir siswa sangat mekanis, seperti robot yang tidak punya naluri untuk improvisasi, inovasi, dan lebih-lebih analisis. (http://www.uniga.ac.id/cetak.php?id=32)
Dasar keilmuan dan Ilmu Pendidikan adalah Epistemologi,Aksiologi,dan Ontologi.Kemandekan dalam epistemologi adalah kematian kreativitas dan kematian dasar-dasar keilmuan. Jika kondisi ini dibiarkan maka peningkatan sumber daya insani akan susah dicapai, sebab yang dihasilkan sampai dengan saat ini hanyalah siswa – siswa yang sekedar hafal rumus ataupun teori Fisika, Kimia, Biologi, PPKn dan mata pelajaran lainnya, namun tidak tahu asal-usul rumus dan bangunan keilmuan dari materi yang dipelajari.
Membangun epistemologi keilmuan berarti mengkonstruksi keilmuan. Mengkonstruksi keilmuan berkaitan erat dengan filsafat konstruksivisme. Dalam filsafat konstruktivisme pengetahuan merupakan hasil konstruksi bukanlah suatu imitasi dari kenyataan. Pengetahuan dikonstruk dari konstruksi kognitif melalui pengalaman, dan proses mengkonstruksi itulah siswa terlibat dalam kegiatan berepistemologi.
Aksiologi (nilai-nilai dari ilmu atau bidang kajian) memegang peran yang sangat vital dalam norma dan tata hidup umat manusia baik dalam lingkup lokal, nasional, maupun global. Aksiologi penting disampaikan karena setiap materi yang diajarkan mengandung nilai (value bound) dan tidak bebas nilai (value free). Tanpa disampaikannya unsur aksiologi dari setiap kajian akan sangat membahayakan bagi kehidupan umat manusia. Ketiadaan unsur aksiologi menjadikan kimia sebagai bagian dari senjata pemusnah masal, biologi akan menjadi racun yang mematikan, dan lain sebagainya. Hanya saja problem yang tetap ada adalah bagaimana menyampaikan unsur aksiologi dari setiap ilmu yang efektif?. Bukankah dalam semua pendidikan agama diajarkan hal yang benar/salah, halal/haram, legal/illegal namun perilaku menyimpang selalu ada?.
Memang out put pendidikan selama ini banyak yang menjadi shizofrenia dimana mereka sadar akan hukum dan tata nilai namun tetap melanggar. Ini menunjukkan pendidikan belum mampu membangun jiwa out putnya secara maksimal, katakanlah caracter building. Namun kita juga sepakat bahwa bangunan jiwa tidak saja dipengaruhi oleh proses pendidikan tetapi juga lingkungan, keluarga, dan rizki yang dimakan.
Betapapun susahnya membangun jiwa out put pendidikan, yang jelas penyampaian aksiologi sebagai satu dari tiga pilar bidang kajian akan sangat penting, sebab tidak saja menjadi sebuah pengetahuan dari kemamfaatan ilmu namun juga menjadi peletakan dasar-dasar nilai bidang kajian yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan.
Ontologi an sich, sehingga tidak dicapai proses dan tidak mempunyai kaitan dengan tata nilai dalam bermasyarakat.
Epistemologi,aksiologi,dan ontologi sebagai pilar keilmuan harus senantiasa diperjuangkan untuk selalu hadir dalam pembelajaran di sekolah. Tanpa adanya penyampaian dari ketiganya maka pendidikan akan menjadi hambar dan hanya menghasilkan siswa-siswa yang sekedar hafal rumus dan teori dari setiap pengetahuan namun kering makna.
(http://www.malhikdua.sch.id/Kolom/Guru/DISORIENTASI-PENDIDIKAN.html)
Tujuan keilmuan dan ilmu pendidikan,Secara umum tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian secara terperinci dipertegas lagi dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bertolak dari tujuan pendidikan nasional tersebut, dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan merupakan tujuan akhir yang harus diterjemahkan lebih konkret melalui sebuah proses. Proses dimaksud adalah usaha yang terpola, terencana, dan tersistematisasi melalui proses pendidikan. Keinginan luhur bangsa Indonesia itu lahir dari tatanan nilai yang dianut dan terakumulasi dari dalam kesadaran dirinya sebagai bangsa dan kesadaran terhadap dunia di sekitarnya. (http://udhiexz.wordpress.com/2008/05/27/ilmu-pendidikan-islam-versi-perspektif-nasional-dan-lembaga-pendidikan/)
Fungsi keilmuan dan Ilmu Pendidikan sebagai penuju ke arah kemajuan, dan kemajuan itu digambarkan sebagai masyarakat tahap positif, atau masyarakat industrial,dan memunculkan teori-teori baru bisa diterima dan dapat bermanfaat bagi masyarakat.Artinya di sini bahwa ada nilai-nilai yang menjadi muatan suatu ilmu bisa berkembang dan bermanfaat.
(http://mawardiumm.blogspot.com/2008/03/strategi-pengembangan-ilmu-tanggung.html)
Demikian diskusi dari kelompok kami yang terdiri dari:
• Agnes Maradita Ruscasari (292008146)
• Fitri Ariyanti (292008142)
• Linta Rahmawatiningrum (292008089)
• Nila Artanti (292008047)
• Kartika Maya Sari (292008051)
• Vania Abriastanti (292008043)

Matematika

1. Mata Pelajaran Matematika di SD

a. Pengertian Matematika Sekolah

Istilah Matematika berasal dari bahasa Yunani, mathein atau manthenien yang artinya mempelajari. Kata matematika diduga erat hubungannya dengan kata Sangsekerta, medha atau widya yang artinya kepandaian, ketahuan atau intelegensia Nasution, 1980 dalam Sri Subariah, 2006:1). Berikut ini beberapa definisi tentang matematika menurut Sri Subariah dalam bukunya yang berjudul “Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar”:

1. Matematika itu terorganisasikan dari unsure-unsur yang tidak didefinisikan, definesi-definisi, aksioma-aksioma dan dalil-dalil yang dibuktikan kebenarannya, sehingga matematika disebut ilmu deduktif (Rusefendi, 1989:23)

2. Matematika merupakan pola pikir, pola mengorganisasikan pembuktian logik, pengetahuan struktur yang terorganisasi memuat: sifat-sifat, teori-teori dibuat secara deduktif berdasarkan unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori yang telah dibuktikan kebenarannya. (Johnson dan Rising, 1972 dalam Rusefendi, 1988:2)

3. Matematika merupakan telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat (Reys, 1984, dalam Rusenfendi, 1988:2)

4. Matematika bukan pengetahuan tersendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi keberadaanya karena untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan social, ekonomi dan alam (Kline, 1973, dalam Rusenfendi, 1988:2)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa matematika merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada di dalamnya. Ini berarti bahwa belajar matematika pada hakekatnya adalah belajar konsep, struktur konsep dan mencari hubungan antar konsep dan strukturnya. Ciri khas matematika yang deduktif aksiomatis ini harus diketahui oleh guru sehingga mereka dapat mempelajari matematika dengan tepat, mulai dari konsep-konsep sederhana sampai yang komplek.

Menurut Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Kurikulum Matematika SD 1994 dan suplemennya disebutkan bahwa metematika sekolah adalah matematika yang diajarkan di Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Matematika tersebut terdiri dari bagian-bagian matematika yang dipilih guna menumbuh kembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Ini berarti bahwa matematika sekolah disamping memiliki ciri-ciri penting seperti: a) memiliki objek yang abstrak,b) memiliki pola pikir deduktif dan konsinten, juga tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) (Depdiknas, 1992:2)

Menurut Brissenden (1980:7) pelajaran matematika pada siswa diikuti dengan susunan urutan kegiatan oleh guru dan masing-masing kegiatan pembelajaran mengandung dua ciri pokok. Pertama, menjelaskan yang gambling, pengelolaan tipe ini guru menggunakan kegiatan kelas secara menyeluruh, baik secara individual maupun kelompok belajar. Kedua, kegiatan dengan menyusun ketentuan pengembangan langkah-langkah pembelajaran metematika. Hal ini dapat dilakukan dengan menggambarkan beberapa topik dalam pembelajaran. Langkah awal yang dilakukan oleh guru adalah perhatian pada upaya pengembangan matematika dengan susunan konsep dan garis besar dari pokok materi.

b. Fungsi Pembelajaran Matematika

Pembelajaran matematika di sekolah Dasar (SD) adalah sebagai salah satu unsur masukan instrumental yang dimiliki obyek dasar yang abstrak dan berlandaskan kebenaran konsistensi, dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan. Kebenaran konsistensi dimaksud sebagai suatu kebenaran dari pernyataan tertentu yang didasarkan pada kebenaran terdahulu yang telah diterima (Depdiknas, 1999:3).

c. Tujuan Pembelajaran Matematika

Tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar (SD) adalah untuk : a) mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan-perubahan keadaan di dalam kehidupan yang selalu berkembang, mallaui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, efisien dan efektif, b) mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari ilmu pengetahuan (Depdiknas, 1999:3). Selaras dengan tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar tersebut penulis mempunyai gagasan bahwa dengan pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika realistik mampu meningkatkan cara bernalar siswa dan pada akhirnya akan meningkatkan prestasi belajar siswa.

2.Proses Menghafal dan Berpikir Logis

Rendahnya hasil belajar matematika disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain ditinjau dari tuntutan kurikulum yang lebih menekankan pada pencapaian target. Artinya, semua bahan harus selesai diajarkan dan bukan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika (Marpaung, 2001). Faktor lain yang cukup penting adalah bahwa aktivitas pembelajaran di kelas yang selama ini dilakukan oleh guru tidak lain merupakan penyampaian informasi (metode kuliah) dengan lebih mengaktifkan guru, sedangkan siswa pasif mendengarkan dan menyalin, sesekali guru bertanya dan sesekali siswa menjawab, guru memberi contoh soal dilanjutkan dengan member soal latihan yang sifatnya rutin dan kurang melatih daya nalar, kemudian guru memberikan penilaian. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Marpaung (2001), Zulkardi (2001), dan Darhim (2004). Akhirnya terjadilah proses penghafalan konsep atau prosedur, pemahaman konsep matematika rendah, dan tidak dapat menggunakannya jika diberikan permasalahan yang agak kompleks. Siswa menjadi robot yang harus mengikuti aturan atau prosedur yang berlaku dan jadilah pembelajaran mekanistik. Akibatnya, pembelajaran bermakna yang diharapkan tidak terjadi. Tidak heran apabila belajar bila dengan cara menghafal tersebut tingkat kemampuan kognitif anak yang terbentuk hanya pada tataran tingkat yang rendah. Kecenderungan anak terperangkap dalam pemikiran menghafal karena iklim yang terjadi dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru di sekolah.

Cara-cara menghafal semakin intensif dilakukan anak menjelang ujian. Anak belajar mengingat atau mengecamkan materi, rumus-rumus, definisi, unsur-unsur, dan sebagainya. Namun ketika waktu ujian berlangsung, anak seperti menghadapi kertas buram. Anak tidak mampu mengoperasionalkan rumus-rumus yang dihafalnya untuk menjawab pertanyaan.

Menurut Mukhayat (2004), belajar dengan menghafal tidak terlalu banyak menuntut aktivitas berpikir anak dan mengandung akibat buruk pada perkembangan mental anak. Anak akan cenderung suka mencari gampangnya saja dalam belajar. Anak kehilangan sense of learning, kebiasaan yang membuat anak bersikap pasif atau menerima begitu saja apa adanya yang mengakibatkan anak tidak terbiasa untuk berpikir kritis.

Proses pembelajaran seperti inilah yang merupakan ciri pendidikan di negara berkembang, termasuk di Indonesia (Romberg, 1998; Armanto, 2001). Untuk mengatasi permasalahan di atas, perlu diusahakan perbaikan pembelajaran siswa dengan mengubah paradigma mengajar menjadi paradigma belajar, yaitu pembelajaran yang lebih memfokuskan pada proses pembelajaran yang mengaktifkan siswa untuk menemukan kembali (reinvent) konsep-konsep, melakukan refleksi, abstraksi, formalisasi, dan aplikasi.

Proses mengaktifkan siswa ini dapat dikembangkan dengan membiasakan anak menggunakan berpikir logis dalam setiap melakukan kegiatan belajarnya. Kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang akan membentuk karakter anak dalam bagaimana berpikir, bagaimana berbuat, dan bagaimana bertindak sebagai perwujudan aplikasi pemahaman untuk menjawab segala bentuk kebutuhan dan persoalan yang dihadapinya. Oleh karena itu, kepada guru diharapkan secara dini dapat melakukan proses pembelajaran yang dapat meningkatkan berpikir logis.

Untuk memahami apa yang dimaksud dengan berpikir logis dapat dirujuk beberapa pendapat, antara lain Plato yang mengatakan bahwa berpikir adalah berbicara dalam hati, atau Gieles dalam Mukhayat (2004) yang mengartikan bahwa berpikir adalah berbicara dengan dirinya sendiri dalam batin, yaitu mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasan, menarik kesimpulan, meneliti sesuatu jalan pikiran, dan mencari bagaimana berbagai hal itu berhubungan satu sama lain.

Kata logis sering digunakan seseorang ketika pendapat orang lain tidak sesuai dengan pengambilan keputusan (tidak masuk akal) dari suatu persoalan. Hal ini berarti bahwa dalam kata logis tersebut termuat suatu aturan tertentu yang harus dipenuhi. Menurut Mukhayat (2004), kata logis mengandung makna besar atau tepat berdasarkan aturan-aturan berpikir dan kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum yang digunakan untuk dapat berpikir tepat.

Dalam matematika, kata logis erat kaitannya dengan penggunaan aturan logika. Poedjawijatna (1992) mengatakan bahwa orang yang berpikir logis akan taat pada aturan logika. Logika berasal dari kata Yunani, yaitu Logos yang berarti ucapan, kata, dan pengertian. Logika sering juga disebut penalaran. Dalam logika dibutuhkan aturan-aturan atau patokan-patokan yang perlu diperhatikan untuk dapat berpikir dengan tepat, teliti, dan teratur sehingga diperoleh kebenaran secara rasional.

Berpikir logis tidak terlepas dari dasar realitas, sebab yang dipikirkan adalah realitas, yaitu hukum realitas yang selaras dengan aturan berpikir. Dari dasar realitas yang jelas dan dengan menggunakan hukum-hukum berpikir akhirnya akan dihasilkan putusan yang dilakukan. Menurut Albrecht (1992), agar seseorang sampai pada berpikir logis, dia harus memahami dalil logika yang merupakan peta verbal yang terdiri dari tiga bagian dan menunjukkan gagasan progresif, yaitu: (1) dasar pemikiran atau realitas tempat berpijak, (2) argumentasi atau cara menempatkan dasar pemikiran bersama, dan (3) simpulan atau hasil yang dicapai dengan menerapkan argumentasi pada dasar pemikiran.

Dari uraian di atas terlihat bahwa terdapat perbedaan proses menghafal dengan berpikir logis. Menghafal hanya mengacu pada pencapaian kemampuan ingatan belaka, sedangkan berpikir logis lebih mengacu pada pemahaman pengertian (dapat mengerti), kemampuan aplikasi, kemampuan analisis, kemampuan sintesis, bahkan kemampuan evaluasi untuk membentuk kecakapan (suatu proses).

Untuk dapat menghantar siswa pada kegiatan berpikir logis hendaknya kepada siswa dibiasakan untuk selalu tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi dengan mencoba menjawab pertanyaan “mengapa”, “apa”, dan “bagaimana”. Sebagai contoh, kepada siswa kelas III SD diminta untuk menjawab pertanyaan berapa hasil kali 6x8. Bagi siswa yang telah terbiasa dengan menghafal tentu ia dapat menjawab langsung 48. Namun jika ditanya mengapa hasilnya 48, siswa akan kebingungan karena dibenaknya hanya tergambar ingatan angka 48. Bagi siswa yang terbiasa dengan berpikir logis, pertanyaan seperti di atas sudah sering ia dapatkan. Bahkan, ia akan mencoba memahami apa arti dari perkalian tersebut. Hal ini berarti bahwa siswa telah menangkap makna atau pengertian dari soal tersebut.

Sebagai konsekuensinya perlu diperhatikan pendekatan pembelajaran yang digunakan di kelas. Ruseffendi (2001) berpendapat bahwa untuk membudayakan berpikir logis serta bersikap kritis dan kreatif proses pembelajaran dapat dilakukan dengan pendekatan matematika realistik. Selanjutnya dikatakan, jika kita (guru) rajin memperhatikan lingkungan dan mengaitkan pembelajaran matematika dengan lingkungan maka besar kemungkinan berpikir logis siswa itu akan tumbuh.

2. Sikap

a. Pengertian Sikap

Sikap adalah pandangan-pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai sikap objek tadi (Heri Purwanto, 1998 : 62). Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.

Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, obyek atau isue. (Petty, cocopio, 1986 dalam Azwar S., 2000 : 6). Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek (Soekidjo Notoatmojo, 1997 : 130).

Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik terhadap objek misalnya sikap terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999). Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, misalnya bahasa Inggris, harus lebih positif setelah peserta didik mengikuti pembelajaran bahasa Inggris dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.

b. Komponen Sikap

Struktur sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang yaitu (Azwar S., 2000 : 23):

1) Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial.

2) Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional.

Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu.

3) Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Dan berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak / bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Dan berkaitan dengan objek yang dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku.

c. Tingkatan Sikap

Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yakni (Soekidjo Notoatmojo,1996 : 132):

1) Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).

2) Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. Lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang itu menerima ide tersebut.

3) Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga, misalnya seorang mengajak ibu yang lain (tetangga, saudaranya, dsb) untuk menimbang anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang gizi adalah suatu bukti bahwa si ibu telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.

4) Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah mempunyai sikap yang paling tinggi. Misalnya seorang ibu mau menjadi akseptor KB, meskipun mendapatkan tantangan dari mertua atau orang tuanya sendiri.

d. Cara Pengukuran Sikap

Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai pernyataan sikapseseorang. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu mengenai obyek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan sikap mungkin berisi atau mengatakan hal-hal yang positif mengenai obyek sikap, yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada obyek sikap. Pernyataan ini disebut dengan pernyataan yang favourable. Sebaliknya pernyataan sikap mungkin pula berisi hal-hal negatif mengenai obyek sikap yang bersifat tidak mendukung maupun kontra terhadap obyek sikap. Pernyataan seperti ini disebut dengan pernyataan yang tidak favourabel. Suatu skala sikap sedapat mungkin diusahakan agar terdiri atas pernyataan favorable dan tidak favorable dalam jumlah yang seimbang. Dengan demikian pernyataan yang disajikan tidak semua positif dan tidak semua negatif yang seolah-olah isi skala memihak atau tidak mendukung sama sekali obyek sikap (Azwar, 2005).

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat/ pernyataan responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataanpernyataan hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner (Notoatmodjo, 2003).

e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap

Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keluarga terhadap obyek sikap antara lain :

1. Pengalaman Pribadi

Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.

2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.

3. Pengaruh Kebudayaan

Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya.

4. Media Massa

Dalam pemberitaan surat kabar mauoun radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara obyekstif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumennya.

5. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan tidaklah mengherankan jika kalau pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.

6. Faktor Emosional

Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. (Azwar, 2005).

3. Sikap siswa terhadap matematika

Seperti telah diuraikan di atas, tujuan pendidikan matematika antara lain adalah penekanannya pada pembentukan sikap siswa. Dengan kata lain, dalam proses pembelajaran matematika perlu diperhatikan sikap positif siswa terhadap matematika. Hal ini penting mengingat sikap positif terhadap matematika berkorelasi positif dengan prestasi belajar matematika (Ruseffendi, 1988).

Sikap merupakan suatu kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak sesuatu, konsep, kumpulan ide, atau kelompok individu. Matematika dapat diartikan sebagai suatu konsep atau ide abstrak yang penalarannya dilakukan dengan cara deduktif aksiomatik. Hal ini dapat disikapi oleh siswa secara berbeda-beda, mungkin menerima dengan baik atau sebaliknya. Dengan demikian, sikap siswa terhadap matematika adalah kecenderungan untuk menerima atau menolak matematika.

Berkaitan dengan sikap positif siswa terhadap matematika, beberapa pendapat, antara lain Ruseffendi (1988), mengatakan bahwa anak-anak menyenangi matematika hanya pada permulaan mereka berkenalan dengan matematika yang sederhana. Makin tinggi tingkatan sekolahnya dan makin sukar matematika yang dipelajarinya akan semakin berkurang minatnya. Menurut Begle (1979), siswa yang hampir mendekati sekolah menengah mempunyai sikap positif terhadap matematika yang secara perlahan menurun.

Siswa yang memiliki sikap positif terhadap matematika memiliki ciri antara lain terlihat sungguh-sungguh dalam belajar matematika, menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat waktu, berpartisipasi aktif dalam diskusi, mengerjakan tugas-tugas pekerjaan rumah dengan tuntas, dan selesai pada waktunya.

Dengan demikian, untuk menumbuhkan sikap positif terhadap matematika, perlu diperhatikan agar penyampaian matematika dapat menyenangkan, mudah dipahami, tidak menakutkan, dan tunjukkan bahwa matematika banyak kegunaannya. Oleh karena itu, materi harus dipilih dan disesuaikan dengan lingkungan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan tingkat kognitif siswa, dimulai dengan cara-cara informal melalui pemodelan sebelum dengan cara formal.