Senin, 27 Oktober 2008

Matematika Realistik

Matematika Realistik dan Implementasinya Dalam

Proses Pembelajaran Matematika

Wahyudi
(Dosen S1 PGSD Universitas Kristen Satya Wacana)

1. Pendahuluan

Salah satu karakteristik matematika adalah mempunyai objek yang bersifat abstrak. Sifat abstrak ini menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam belajar matematika. Dari data yang ada prestasi matematika siswa baik secara nasional maupun internasional belum menggembirakan. Informasi dari Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) bahwa rata-rata skor matematika siswa tingkat 8 (tingkat II SLTP) Indonesia jauh di bawah rata-rata skor matematika siswa internasional dan berada pada ranking 34 dari 38 negara (TIMSS,1999). Rendahnya prestasi matematika siswa disebabkan oleh faktor siswa yaitu mengalami masalah secara komprehensif atau secara parsial dalam matematika. Selain itu, belajar matematika siswa belum bermakna, sehingga pengertian siswa tentang konsep sangat lemah.

Jenning dan Dunne (1999) mengatakan bahwa, kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan real. Hal lain yang menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran matematika kurang bermakna. Guru dalam pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan dengan skema yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika. Mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di kelas penting dilakukan agar pembelajaran bermakna (Soedjadi, 2000; Price,1996; Zamroni, 2000). Menurut Van de Henvel-Panhuizen (2000), bila anak belajar matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan pendapat di atas, pembelajaran matematika di kelas ditekankan pada keterkaitan antara konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari. Selain itu, perlu menerapkan kembali konsep matematika yang telah dimiliki anak pada kehidupan sehari-hari atau pada bidang lain sangat penting dilakukan. Salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah Pembelajaran Matematika Realistik (PMR). Pembelajaran Matematika Realistik pertama kali dikembangkan dan dilaksanakan di Belanda dan dipandang sangat berhasil untuk mengembangkan pengertian siswa.

Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan secara teoretis Pembelajaran Matematika Realistik, mengapa Pembelajaran Matematika Realistik digunakan dan bagaimana pengimplementasian Pembelajaran Matematika Realistik dalam proses Pembelajaran Matematika di sekolah.

2. Apa dan Bagaimana Penerapan Matematika Realistik Dalam Proses Pembelajaran

2.1 Realistic Mathematics Education (RME)

Realistic Mathematics Education (RME) dalam istilah Indonesia dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik (PMR) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000). Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.

Dua jenis matematisasi diformulasikan oleh Treffers (1991), yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematik. Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian. Kedua jenis matematisasi ini mendapat perhatian seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama (Van den Heuvel-Panhuizen, 2000) .

Berdasarkan matematisasi horisontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu mekanistik, emperistik, strukturalistik, dan realistik. Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam pendekatan ini manusia dianggap sebagai mesin. Kedua jenis matematisasi tidak digunakan. Pendekatan emperistik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horisontal. Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal. Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horisontal dan vertikal diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.

Gambar berikut menunjukkan dua proses matematisasi yang berupa siklus di mana “dunia nyata” tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali matematika.

Gambar 1 Konsep Matematisasi (De Lange,1987)

Dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (“dunia nyata”), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses penyarian (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De Lange (1987) sebagai matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian, siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematikan dalam sehari-hari (Cinzia Bonotto, 2000)

2.2 Mengapa kita perlu mengembangkan Pendidikan Matematika Realistik (PMR)?

Orientasi pendidikan kita mempunyai ciri (Zamroni, 2000):

1. Cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek;

2. Guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner;

3. Materi bersifat subject-oriented; dan

4. Manajemen bersifat sentralistis.

Paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Zamroni, 2000):

1. Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching);

2. Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel;

3. Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri; dan

4. Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.

2.2.1 Konsepsi tentang Siswa

Pembelajaran Matematika Realistik mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut:

1. Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya;

2. Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri;

3. Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi,penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan;

4. Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman;

5. Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematik.

2.2.2 Peran Guru

PMR mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut:

  1. Guru hanya sebagai fasilitator belajar;
  2. Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
  3. Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil; dan
  4. Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia-riil, baik fisik maupun sosial.

2.2.3 Konsepsi tentang Pengajaran

Matematika Realistik (MR) yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Pembelajaran MR di kelas berorientasi pada karakteristik-karakteristik PMR, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain. Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan memakai matematika yang siap pakai untuk memecahkan masalah-masalah.

Karena matematika realistik menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran maka situasi masalah perlu diusahakan benar-benar kontektual atau sesuai dengan pengalaman siswa, sehingga siswa dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horisontal. Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh siswa digunakan sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek matematiknya ditingkatkan melalui matematisasi vertikal. Melalui proses matematisasi horisontal-vertikal diharapkan siswa dapat memahami atau menemukan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal).

Pengajaran matematika dengan pendekatan PMR meliputi aspek-aspek berikut (De Lange, 1995):

  1. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna;
  2. Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut;
  3. Siswa mengembangkan menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.

Jadi, pembelajaran MR diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain (lihat gambar 02).

Gambar 2 Penemuan dan Pengkonstruksian konsep
(Diadopsi dari Van Reeuwijk,1995)

3. Pembelajaran Matematika Realistik (MR) Menurut Pandangan Konstruktivis

Pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivis adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi. Guru dalam hal ini berperan sebagai fasilitator. Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada: (1) pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi, (2) dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa, (3) informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya, dan (4) pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis.

Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998). Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997). Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.

Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan konstruktivisme sosio (socio-constructivism). Siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah yang diberikan. Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME. Konsep ZPD dan Scaffolding dalam pendekatan konstruktivis sosio, di dalam pembelajaran MR disebut dengan penemuan kembali terbimbing (guided reinvention). Menurut Graevenmeijer (1994) walaupun kedua pendekatan ini mempunyai kesamaan tetapi kedua pendekatan ini dikembangkan secara terpisah. Perbedaan keduanya adalah pendekatan konstruktivis sosio merupakan pendekatan pembelajaran yang bersifat umum, sedangkan pembelajaran MR merupakan pendekatan khusus yaitu hanya dalam pembelajaran m tematika.

4. Simpulan dan Saran

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. Matematika Realistik (MR) merupakan matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Pembelajaran MR menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran, dan melalui matematisasi horisontal-vertikal siswa diharapkan dapat menemukan dan merekonstruksi konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan menerapkan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain. Dengan kata lain, pembelajaran MR berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari (everydaying mathematics), sehingga siswa belajar dengan bermakna (pengertian).

Pembelajaran MR berpusat pada siswa, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dan motivator, sehingga memerlukan paradigma yang berbeda tentang bagaimana siswa belajar, bagaimana guru mengajar, dan apa yang dipelajari oleh siswa dengan paradigma pembelajaran matematika selama ini. Karena itu, perubahan persepsi guru tentang mengajar perlu dilakukan bila ingin mengimplementasikan pembelajaran matematika realistik.

Sesuai dengan simpulan di atas, maka disarankan: (1) kepada pakar atau pencinta pendidikan matematika untuk melakukan penelitian-penelitian yang berorientasi pada pembelajaran MR sehingga diperoleh global theory pembelajaran MR yang sesuai dengan sosial budaya Indonesia, dan (2) kepada guru-guru matematika untuk mencoba mengimplementasikan pembelajaran MR secara bertahap, misalnya mulai dengan memberikan masalah-masalah realistik untuk memotivasi siswa menyampaikan pendapat.

Pustaka Acuan

A Sociolonguistic Analysis”. Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol 29 No.1 January 1998.hal 63-82

Cobb,Yackel & Wood.1992.”A Constructivist Alternative to The Representational View of Mind in Mathematics Education”. Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol.23. No.1 January 1992. hal. 2-33 .

Dalam Journal for Research in Mathematics Education Vol.27. No.1 January 1996. hal. 100-106

De Lange. 1987. Mathematics Insight and Meaning. OW & OC. Utrecht

Ernest,P. 1991. The Philosopy of Mathematics Education. London : Falmer Press

Gravemeijer. 1994. Developing Realistics Mathematics Education. Freudenthal Institute. Utrecht.

Hiebert,J & Thomas Carpenter. 1992. “Learning and Teaching With Understanding” Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York : Macmillan

Jennings, Sue & R, Dunne.1999. Math Stories,Real Stories, Real-life Stories. www.ex.ac.uk/telematics/T3/maths/mathfram.htm.

NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. USA : NCTM

Price,J. 1996. “President’s Report : Bulding Bridges of Mathematical Understanding for All Children” . Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol.27. No.5 November 1996. hal. 603-608

Soedjadi. 2000. “Nuansa Kurikulum Matematika Sekolah Di Indonesia”. Dalam Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000)

Slavin,R. 1997. Educational Psychology Theory and Practice. Fifth Edition. Boston : Allyn and Bacon.

Slettenhaar. 2000. “Adapting Realistic Mathematics Education in the Indonesian Context”. Dalam Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000

Streefland,L. 1991. Realistic Mathematics Education in Primary School. Freudenthal Institute. Utrecht.

Development". Dalam Jurnal Focus on Learning in Mathematics.Vol 15 No. 2 hal.3-17.

TIMSS. 1999. International Student Achievement in Mathematics. http://timss.bc.edu/timss 1999i/pdf/T99i_math_01.pdf

Treffers.1991. “Didactical Background of a Mathematics Program for Primary Education”. Dalam Realistic Mathematics Education in Primary School. Freudenthal Institute. Utrecht.

Van den Heuvel-Panhuizen. 1998. Realistic Mathematics Education Work in Progress. www.fi.nl

......2000. Mathematics Education in the Netherlands a Guided Tour. http://www.fi.uu.nl/en/indexpulicaties.html.

Wilson, Teslow, Taylor.1993. “Instruction Design Perspectives on Mathematics Education With Refrences to Vygotsky's Theory of Social Cognition”. Focus on Learning Problem in Mathematics.Vol 15.No 2 &3. hal. 65-84

Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta : Bigraf Publishing

http://www.depdiknas.go.id/jurnal/38/Matematika%20Realistik.htm

3 komentar:

tea_ka mengatakan...

Pendidikan di Indonesia
Selama saya mengenyam pendidikan di Indonesia kurang lebih selama dua belas tahun, saya merasa bahwa pendidikan di Indonesia masih belum dapat mencapai visi, missi dan tujuan pendidikan yang ada. Karena penilaian pendidikan hanya berorientasi pada hasil, bukan proses, sehingga pembinaan mengabaikan EQ dan SQ, tetapi hanya IQ yang ditekankan. Sebenarnya tujuan pendidikan yang ada di Indonesia adalah berorentasi pada ketaqwaan, kecerdasan dan keterampilan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya karena akan mengakibatkan kehidupan tidak seimbang. Untuk itulah pendidikan di Indonesia harus diubah dengan tidak hanya mengandalkan kemampuan IQ saja tetapi juga kemampuan EQ dan SQ. Ketika Indonesia mempergunakan kurikulum 1994, siswa tidak diberi kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya dan guru tidak menekankan kepada siswa untuk berpikiran secara kritis dan kreatif, siswa hanya sebagai objek pelaksanaan pendidikan yang pasif saja. Metode pengajaran guru menekankan pada metode hafalan, tanpa memperhatikan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang dimiliki oleh siswa. Hal itu sungguh menghambat perkembangan kecerdasan siswa. Dan juga kurang optimalnya pelaksanaan sistem pendidikan di Indonesia disebabkan karena sulitnya menyediakan guru-guru yang profesional untuk mengajar di daerah-daerah. Pada tahun 2004 Indonesia mempergunakan kurikulum KBK, kemudian tahun 2006 Indonesia menerapkan kurikulum KTSP yang mengutamakan otonomi sekolah, setiap sekolah dapat menyusun standar kompetensi yang sesuai dengan sumber daya manusia yang ada di daerah tersebut. Akan tetapi sebenarnya kurikulum di Indonesia tidak kalah dengan kurikulum di Negara maju, hanya saja karena pelaksanaannya yang masih jauh dari optimal yang menyebabkan pendidikan di Indonesia jauh tertinggal dalam hal kualitasnya. Saya menghargai usaha pemerintah yang mengganti-ganti kurikulum untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia ini, akan tetapi menurut saya hal itu bukan menjadi masalah utama, akan tetapi karena pelaksanaan dilapangan yang kurang optimal dan juga terbatasnya sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar yang menyebabkan tujuan yang dicapai menjadi kurang optimal. Dan juga karena masyarakat belum sadar akan betapa pentingnya pendidikan dalam membentuk manusia yang cerdas sesuai dengan tuntutan zaman. Menurut saya pelaksanaan UAN justru hanya akan membuat siswa merasa tertekan dan terbebani dengan tuntutan standar nilai yang telah ditentukan. Sesuai PP 19/2005, UAN adalah indikator kelulusan. Menurut saya pelaksanaan UAN tidak begitu tepat untuk menilai kualitas pendidikan yang ada karena hal tersebut hanya akan mengkondisikan penyelewengan/kecurangan kepala sekolah ataupun guru untuk dapat meluluskan anak didiknya supaya citra sekolah menjadi terangkat. Berbagai macam cara dilakukan oleh guru maupun murid supaya anak didiknya bias lulus, sangat disayangkan bukan? Banyak orang menyayangkan jerih payah selama tiga tahun hanya ditentukan dalam tiga hari. Banyak murid cerdas yang diterima dalam SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru),tetapi gagal dalam UAN.Hal tersebut menjadikan beban bagi siswa yang justru akan menyebabkan anak mengalami gangguan mental. Jadi saya merasa tidak setuju dengan pelaksanaan UAN sebagai indicator kelulusan. Karena sebenarnya UAN diselenggarakan untuk mengetahui seberapa bagusnya kualitas suatu sekolah didalam pencapaian hasil pendidikan. Sebenarnya masalah serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal.. Hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang justru menghambat penyediaan sumber daya menusia yang sebenarnya tiap insan yang hidup didunia ini mempunyai keahlian, keterampilan, potensi, bakat, kreativitas dan juga kemampuan untuk meningkatkan mutu pendidikan bangsa kita di berbagai bidang. Faktor yang lain adalah pendidikan di Indonesia dipengaruhi oleh masalah ekonomi. Banyak anak-anak yang putus sekolah karena orang tuanya tidak sanggup untuk membiayai sekolah anaknya, sehingga dengan terpaksa anak tersebut ikut bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Dan juga masalah-masalah yang lain adalah rendahnya prestasi siswa, rendahnya sarana dan prasarana, rendahnya kualitas guru dan mahalnya biaya pendidikan yang mahal, yang menyulitkan sebagian masyarakat Indonesia yang kurang mampu. Hal ini dapat mengakibatkan banyaknya anak-anak Indonesia yang terancam putus sekolah. Oleh karena itu, sangat lah di perlukan peningkatan dana pendidikan di Indonesia agar dapat membantu masyarakat Indonesia yang kurang mampu melalui program beasiswa, orang tua asuh, dan dapat juga dengan pembebasan biaya pendidikan.

tea_ka mengatakan...

Pendidikan di Indonesia
Selama saya mengenyam pendidikan di Indonesia kurang lebih selama dua belas tahun, saya merasa bahwa pendidikan di Indonesia masih belum dapat mencapai visi, missi dan tujuan pendidikan yang ada. Karena penilaian pendidikan hanya berorientasi pada hasil, bukan proses, sehingga pembinaan mengabaikan EQ dan SQ, tetapi hanya IQ yang ditekankan. Sebenarnya tujuan pendidikan yang ada di Indonesia adalah berorentasi pada ketaqwaan, kecerdasan dan keterampilan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya karena akan mengakibatkan kehidupan tidak seimbang. Untuk itulah pendidikan di Indonesia harus diubah dengan tidak hanya mengandalkan kemampuan IQ saja tetapi juga kemampuan EQ dan SQ. Ketika Indonesia mempergunakan kurikulum 1994, siswa tidak diberi kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya dan guru tidak menekankan kepada siswa untuk berpikiran secara kritis dan kreatif, siswa hanya sebagai objek pelaksanaan pendidikan yang pasif saja. Metode pengajaran guru menekankan pada metode hafalan, tanpa memperhatikan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang dimiliki oleh siswa. Hal itu sungguh menghambat perkembangan kecerdasan siswa. Dan juga kurang optimalnya pelaksanaan sistem pendidikan di Indonesia disebabkan karena sulitnya menyediakan guru-guru yang profesional untuk mengajar di daerah-daerah. Pada tahun 2004 Indonesia mempergunakan kurikulum KBK, kemudian tahun 2006 Indonesia menerapkan kurikulum KTSP yang mengutamakan otonomi sekolah, setiap sekolah dapat menyusun standar kompetensi yang sesuai dengan sumber daya manusia yang ada di daerah tersebut. Akan tetapi sebenarnya kurikulum di Indonesia tidak kalah dengan kurikulum di Negara maju, hanya saja karena pelaksanaannya yang masih jauh dari optimal yang menyebabkan pendidikan di Indonesia jauh tertinggal dalam hal kualitasnya. Saya menghargai usaha pemerintah yang mengganti-ganti kurikulum untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia ini, akan tetapi menurut saya hal itu bukan menjadi masalah utama, akan tetapi karena pelaksanaan dilapangan yang kurang optimal dan juga terbatasnya sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar yang menyebabkan tujuan yang dicapai menjadi kurang optimal. Dan juga karena masyarakat belum sadar akan betapa pentingnya pendidikan dalam membentuk manusia yang cerdas sesuai dengan tuntutan zaman. Menurut saya pelaksanaan UAN justru hanya akan membuat siswa merasa tertekan dan terbebani dengan tuntutan standar nilai yang telah ditentukan. Sesuai PP 19/2005, UAN adalah indikator kelulusan. Menurut saya pelaksanaan UAN tidak begitu tepat untuk menilai kualitas pendidikan yang ada karena hal tersebut hanya akan mengkondisikan penyelewengan/kecurangan kepala sekolah ataupun guru untuk dapat meluluskan anak didiknya supaya citra sekolah menjadi terangkat. Berbagai macam cara dilakukan oleh guru maupun murid supaya anak didiknya bias lulus, sangat disayangkan bukan? Banyak orang menyayangkan jerih payah selama tiga tahun hanya ditentukan dalam tiga hari. Banyak murid cerdas yang diterima dalam SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru),tetapi gagal dalam UAN.Hal tersebut menjadikan beban bagi siswa yang justru akan menyebabkan anak mengalami gangguan mental. Jadi saya merasa tidak setuju dengan pelaksanaan UAN sebagai indicator kelulusan. Karena sebenarnya UAN diselenggarakan untuk mengetahui seberapa bagusnya kualitas suatu sekolah didalam pencapaian hasil pendidikan. Sebenarnya masalah serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal.. Hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang justru menghambat penyediaan sumber daya menusia yang sebenarnya tiap insan yang hidup didunia ini mempunyai keahlian, keterampilan, potensi, bakat, kreativitas dan juga kemampuan untuk meningkatkan mutu pendidikan bangsa kita di berbagai bidang. Faktor yang lain adalah pendidikan di Indonesia dipengaruhi oleh masalah ekonomi. Banyak anak-anak yang putus sekolah karena orang tuanya tidak sanggup untuk membiayai sekolah anaknya, sehingga dengan terpaksa anak tersebut ikut bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Dan juga masalah-masalah yang lain adalah rendahnya prestasi siswa, rendahnya sarana dan prasarana, rendahnya kualitas guru dan mahalnya biaya pendidikan yang mahal, yang menyulitkan sebagian masyarakat Indonesia yang kurang mampu. Hal ini dapat mengakibatkan banyaknya anak-anak Indonesia yang terancam putus sekolah. Oleh karena itu, sangat lah di perlukan peningkatan dana pendidikan di Indonesia agar dapat membantu masyarakat Indonesia yang kurang mampu melalui program beasiswa, orang tua asuh, dan dapat juga dengan pembebasan biaya pendidikan.

ari mengatakan...

Ini sangat menarik hal yang disebut dengan matematika realistik.
yang telah disebutkan menggunakan 4 macam cara tadi cukup bagus.
SAYA SETUJU...